KEDIRI, radarjatim.net – Apakah benar tradisi manten tebu yang biasa digelar menjelang musim giling tebu bertujuan untuk menolak bala? Pertanyaan ini masih menjadi perdebatan karena berkaitan dengan ranah spiritual yang sulit dibuktikan secara ilmiah.
Namun demikian, prosesi adat ini dipercaya oleh sebagian kalangan sebagai salah satu strategi Pemerintah Hindia Belanda pada masa lampau untuk menarik simpati masyarakat lokal. Dengan kata lain, ini adalah bagian dari cara kolonial untuk menyentuh sisi emosional rakyat pribumi, agar lebih mudah dikendalikan.
Hal itu disampaikan oleh Eko Priatno, Kepala Bidang Sejarah dan Purbakala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kediri. Ia menjelaskan bahwa keberadaan industri gula di Kediri tidak bisa dilepaskan dari sistem tanam paksa atau cultuurstelsel, yang diberlakukan setelah Perang Diponegoro.
“Setelah Perang Jawa atau Perang Diponegoro, kondisi keuangan Pemerintah Belanda kacau. Sebagai solusi, mereka mencetuskan sistem cultuurstelsel. Kemudian lahirlah Agrarische Wet atau Undang-Undang Agraria pada tahun 1870,” ungkapnya.
Undang-undang tersebut memberi peluang bagi para investor asing untuk menanamkan modal di wilayah jajahan, termasuk di Kediri. Dari situlah mulai banyak berdiri perkebunan dan pabrik-pabrik pengolahan hasil bumi.
“Daerah lereng Gunung Kelud banyak ditanami kopi. Kemudian wilayah di sekitar Gunung Wilis menjadi lahan teh. Sedangkan kawasan yang dilalui aliran Sungai Brantas dimanfaatkan untuk budidaya tebu,” jelas Eko.
Ia juga menambahkan, selain tebu, tanaman seperti agave dibudidayakan di Karangdinoyo, Kepung dan Gampengrejo. Sedangkan tembakau banyak ditemukan di daerah Ngadiluwih. Namun, tebu tetap menjadi tanaman dominan di kawasan Kabupaten Kediri karena tanahnya yang subur dan cocok untuk pertumbuhannya.
Karena potensi besar ini, para pemilik modal tertarik mendirikan pabrik gula. Di masa lalu, Kediri memiliki cukup banyak pabrik gula. Selain yang masih aktif seperti di Ngadiredjo, Meritjan dan Pesantren, dulu juga ada pabrik di Tegowangi, Plemahan, Badas, Purwoasri, Kandat, dan beberapa lokasi lainnya.
“Kalau tidak keliru, pabrik gula Pesantren adalah yang paling tua. Sedangkan Ngadiredjo itu termasuk yang dibangun belakangan,” ujar Eko yang juga seorang pemerhati sejarah lokal.
Hingga kini, tradisi manten tebu tetap dilestarikan sebagai bagian dari warisan budaya daerah. Meski maknanya bergeser, namun upacara ini menjadi pengingat akan masa lalu Kediri yang lekat dengan sejarah kolonial dan sistem pertanian paksa.(RED.A)
Posting Komentar