Integritas Pendidikan di Indonesia Menurun, KPK Ungkap Maraknya Plagiarisme hingga Gratifikasi

 


Jakarta, radarjatim.net — Permasalahan dunia pendidikan di Indonesia kembali menjadi sorotan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024, yang menunjukkan bahwa skor integritas pendidikan nasional menurun dari 73,7 menjadi 69,50.

SPI Pendidikan bertujuan untuk memetakan kondisi integritas dalam tiga aspek utama: karakter peserta didik, ekosistem pendidikan terkait pendidikan antikorupsi, dan risiko korupsi dalam tata kelola pendidikan.

Pengumuman hasil survei ini dilakukan dalam acara Peluncuran Indeks Integritas Pendidikan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta Selatan, pada Kamis (24/4/2025). Kegiatan ini turut dihadiri sejumlah pejabat penting seperti Mendikdasmen Abdul Mu'ti, Menag Nassarudin Umar, dan Wamendikti Saintek Stella Christie.

Responden SPI Pendidikan 2024 berasal dari lebih dari 36.000 satuan pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Responden meliputi pelajar, mahasiswa, guru, dosen, wali murid, hingga pimpinan satuan pendidikan.

Menurut Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, cakupan survei tahun ini diperluas hingga tingkat kabupaten/kota. Pada survei sebelumnya, responden hanya berasal dari tingkat provinsi. Hal inilah yang sebagian memengaruhi penurunan skor.

"Dulu hanya level nasional dan provinsi, sekarang kita survei sampai kabupaten/kota. Jadi jumlah respondennya jauh lebih banyak," ujar Wawan.

Temuan SPI Pendidikan 2024:

  1. Tingginya Angka Menyontek dan Plagiarisme

Dalam hal kejujuran akademik, perilaku tidak jujur seperti menyontek masih sangat marak. 78 persen siswa sekolah dan 98 persen mahasiswa mengaku masih melakukan tindakan menyontek.

Tak hanya itu, 43 persen kampus dan 6 persen sekolah juga tercatat masih ditemukan praktik plagiarisme.

"Ini menjadi indikasi serius lemahnya nilai kejujuran di dunia pendidikan kita," jelas Wawan.

  1. Gratifikasi Dianggap Hal Biasa

Temuan mengejutkan lainnya adalah 30 persen guru dan dosen serta 18 persen pimpinan satuan pendidikan masih menganggap pemberian hadiah atau gratifikasi dari peserta didik sebagai sesuatu yang wajar.

"Budaya gratifikasi di sektor pendidikan harus segera diberantas, karena menggerus nilai-nilai integritas," tegas Wawan.

  1. Pengadaan Barang dan Jasa Sarat Konflik Kepentingan

Survei juga mencatat adanya benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa. Sebanyak 43 persen sekolah dan 68 persen kampus memilih vendor berdasarkan relasi pribadi pimpinan.

Bahkan 26 persen sekolah dan 68 persen kampus diketahui menerima komisi dari vendor, dan 75 persen sekolah serta 87 persen kampus melakukan pengadaan tanpa transparansi.

  1. Penyalahgunaan Dana BOS

Penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga tak lepas dari masalah. 12 persen sekolah menggunakan dana BOS tidak sesuai peruntukannya, sementara 17 persen sekolah terindikasi melakukan potongan atau pungutan tidak resmi terhadap dana tersebut.

  1. Pungutan Liar Masih Terjadi

KPK juga menemukan bahwa praktik pungutan liar (pungli) masih merajalela, terutama dalam proses penerimaan siswa baru dan pengurusan dokumen. 28 persen sekolah dan 60 persen kampus masih melakukan pungli di luar biaya resmi.

Langkah dan Rekomendasi Perbaikan

Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menyampaikan tiga rekomendasi utama untuk memperbaiki situasi ini, yaitu penguatan karakter individu, pengembangan ekosistem pendidikan bersih, dan perbaikan tata kelola institusi pendidikan.

"Indeks ini menjadi cermin penting bagi kita semua. Ini harus menjadi bahan evaluasi menyeluruh agar kita bisa memperbaiki kualitas pendidikan nasional," ucap Setyo.

Sementara itu, Mendikdasmen Abdul Mu'ti mengatakan, pihaknya akan memperkuat pendidikan berbasis nilai dan karakter dalam kurikulum baru yang akan diberlakukan mulai tahun ajaran 2025-2026.

"Kami ingin menanamkan nilai jujur, bersih, dan antikorupsi di seluruh ekosistem pendidikan, mulai dari sekolah, keluarga, hingga masyarakat," kata Abdul Mu'ti.

Di sisi lain, Wamendikti Saintek Stella Christie menekankan pentingnya pembenahan sistem pendidikan tinggi. Salah satu langkah konkret yang sedang ditempuh adalah merevisi Peraturan Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi No. 33 Tahun 2019 untuk memperkuat pelaksanaan pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi.

"Saat ini, setiap perguruan tinggi wajib memiliki program pendidikan antikorupsi yang terukur dan dievaluasi secara berkala," ungkap Stella.

Kondisi ini menunjukkan bahwa kerja keras semua pihak — pemerintah, pendidik, siswa, hingga masyarakat luas — sangat dibutuhkan untuk membangun pendidikan Indonesia yang benar-benar berintegritas, bersih, dan bermartabat di masa depan.(RED.AL)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama