Kediri, radarjatim.net – Meski pengunjung Festival Kuno-Kini 2025 terus hilir mudik di area Monumen Simpang Lima Gumul (SLG), Dimas Bramasto tetap fokus pada goresan-goresan pensilnya. Tangannya lincah menggambar karikatur di atas selembar kertas putih. Di hadapannya, seorang bocah laki-laki duduk diam, menahan gerak demi mendapatkan hasil terbaik dari sang ilustrator.
Bram, sapaan akrabnya, adalah seniman visual asal Kelurahan Dermo, Kecamatan Mrican, Kota Kediri. Ia membuka jasa gambar karikatur langsung di tempat (on the spot) selama gelaran festival budaya dan UMKM tersebut. Tak tanggung-tanggung, dalam 10 hari, lebih dari 80 pengunjung antre untuk diabadikan dalam versi karikatur unik khas Bram.
“Antusiasmenya di luar ekspektasi. Saya kira hanya sedikit yang tertarik. Tapi ternyata dari hari pertama saya langsung kewalahan,” ungkap Bram, sembari tersenyum lelah namun puas.
Harga yang ditawarkan sangat terjangkau, mulai dari Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu, bergantung pada tingkat detail dan pewarnaan. Meski terjangkau, kualitas karyanya tidak bisa dianggap remeh. Garis ‘ndelpis’—singkatan dari kandel-tipis—menjadi ciri khas goresan tangannya, menciptakan dinamika visual yang otentik dan artistik.
Bram tidak sepenuhnya fokus pada festival. Ia hanya melayani permintaan mulai sore hari karena di pagi hingga siang, ia harus mengajar mata pelajaran seni rupa dan desain komunikasi visual (DKV) di SMK Cahaya Surya. Di sela aktivitasnya, Bram juga mengerjakan proyek-proyek ilustrasi sebagai freelancer, termasuk desain kaos hingga pembuatan komik.
“Festival seperti ini saya anggap sebagai waktu refreshing dan ajang silaturahmi sesama seniman. Bisa saling berbagi, saling belajar,” tuturnya.
Menurutnya, pameran seperti Festival Kuno-Kini adalah ruang penting bagi seniman untuk mengaktualisasi karya mereka. Terlebih di era dominasi digital dan masifnya penggunaan kecerdasan buatan (AI), seniman manual seperti dirinya ingin tetap menunjukkan bahwa karya yang dibuat dengan tangan tetap punya tempat di hati masyarakat.
“Sekarang waktu yang tepat untuk seniman memperlihatkan keaslian proses berkarya. Dari sketsa, garis kasar, hingga jadi. Ini yang tidak dimiliki AI,” tegas alumnus STSRD Visi Yogyakarta tersebut.
Meski menguasai ilustrasi digital, Bram tetap menjadikan teknik manual sebagai identitas utama. Ia ingin membuktikan bahwa teknik klasik ini belum punah dan tetap punya daya tarik tersendiri.
“Sentuhan manual punya keunikan yang tidak bisa ditiru mesin. Ada emosi di dalam goresannya,” jelasnya.
Cinta pada dunia ilustrasi tumbuh sejak kecil. Ayahnya seorang pelukis, dan lingkungan keluarganya sangat mendukung minat visual Bram. Dari koleksi komik, buku gambar, hingga alat lukis, semua membentuk fondasi kreativitas yang ia kembangkan hingga dewasa.
Momen paling berkesan dalam kariernya adalah ketika ia terpilih mewakili Indonesia dalam kolaborasi seni bersama perusahaan alat gambar asal Jepang, Tombow. Pada 2023, ia terbang ke Tokyo sebagai satu-satunya ilustrator Indonesia untuk menggabungkan budaya visual Jepang dan Indonesia dalam satu karya.
“Waktu itu saya bikin karya yang menggabungkan Reog Ponorogo dan budaya Jepang. Bukan cuma pengalaman pribadi, tapi ini bentuk kerja sama seni lintas negara,” kenangnya bangga.
Kini, melalui karikatur yang ia buat di SLG, Bram ingin menyampaikan pesan bahwa seniman manual belum selesai. Ia ingin menginspirasi generasi muda agar tetap bangga dengan karya tangan sendiri, meskipun dunia terus bergerak ke arah serba instan.
“Jangan takut untuk tetap otentik. Karena keunikan tiap seniman justru ada pada proses dan karakter goresannya sendiri,” tutupnya dengan mata berbinar, menatap satu lagi kertas kosong yang siap dihidupkan oleh jemarinya.(red.al)
Posting Komentar