Isu Royalti Musik Bikin Pelaku Usaha di Kediri Matikan Lagu Populer, Ganti Instrumen dan Suara Burung

 


KEDIRI, radarjatim.net  – Rencana penegakan aturan pembayaran royalti musik di tempat usaha membuat banyak pelaku bisnis di Kediri mengambil langkah antisipasi. Sejumlah kafe, restoran, hingga swalayan kini menghentikan pemutaran lagu-lagu dari musisi populer Indonesia, menggantinya dengan musik instrumental atau bahkan suara kicau burung.

Suasana berbeda terlihat di salah satu pusat perbelanjaan di Kota Kediri. Aktivitas belanja tetap ramai seperti biasanya, namun dari pengeras suara tidak lagi terdengar alunan lagu Tulus, Rossa, atau Dewa 19. Sebagai gantinya, musik tanpa lirik mengalun pelan, menciptakan nuansa yang lebih tenang.

“Kami memilih memutar musik instrumental sambil menunggu sosialisasi aturan royalti ini,” ujar Prapto, manajer pusat perbelanjaan tersebut. Menurutnya, langkah ini diambil setelah maraknya pemberitaan kasus sengketa royalti antara Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dengan salah satu gerai kuliner besar di Bali.

Keputusan serupa diambil jaringan swalayan berbasis koperasi di Kediri. “Kami hanya mengikuti kebijakan manajemen. Semua outlet memutar musik instrumental sejak sebulan lalu,” kata Mugik, kepala bagian salah satu gerai.

Fenomena ini juga diakui Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kediri Raya. Menurut Ketua PHRI, Sri Rahayu Titik Nuryati, hampir semua anggota kini berhenti memutar lagu-lagu komersial dari label besar. “Sosialisasi aturan ini kurang sampai ke daerah. Tiba-tiba ada gebrakan yang membuat resah pelaku usaha,” jelasnya.

Regulasi yang dimaksud tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, diperinci lewat Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 mengenai Pengelolaan Royalti Lagu/Musik. Aturan ini menetapkan 14 jenis layanan publik komersial yang wajib membayar royalti, mulai dari hotel, restoran, kafe, hingga pusat perbelanjaan.

Salah satu poin yang dipersoalkan pelaku usaha adalah penentuan tarif royalti berdasarkan jumlah kursi. Mengacu Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, tarif di restoran atau kafe mencapai Rp 60 ribu per kursi per tahun. “Sebaiknya tarif dihitung berdasarkan omzet dan kondisi usaha, bukan sekadar jumlah kursi,” harap Yayuk, sapaan akrab Sri Rahayu.

Keberatan serupa diungkapkan pelaku usaha kecil seperti Andi, pemilik kedai kopi di Kota Kediri. “Kalau tarifnya sama dengan kafe besar, jelas memberatkan. Harga segelas kopi di tempat kami jauh lebih murah, tapi bebannya tetap sama,” keluhnya.(RED.AL)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama