Kediri, radarjatim.net – Aroma tak sedap kembali menyeruak dari pelaksanaan proyek pemerintah, kali ini terkait program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3TGAI) di Kabupaten Kediri. Dugaan praktik korupsi dalam proyek ini kian menguat setelah Lembaga Pengawas Penyelenggara Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (LP3-NKRI) mengungkap adanya skema pemotongan dana yang sistematis dan merugikan.
Dari hasil penelusuran lapangan, LP3-NKRI menerima keterangan dari sejumlah ketua Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) dan kepala desa yang menjadi penerima manfaat program. Mereka mengaku bahwa sebelum proyek dimulai, sudah terjadi pemotongan dana sebesar 20 persen dari total anggaran oleh pihak yang disebut sebagai “aspirator”.
“Desa kami hanya sebagai penerima manfaat, tapi kami dipaksa menjalankan proyek yang dananya sudah dipotong besar di awal. Setelah semua pemotongan, sisa dana hanya sekitar Rp155 juta. Itu pun belum termasuk biaya koordinasi dan lain-lain,” ujar salah satu kepala desa yang enggan disebutkan namanya karena alasan keamanan.
Kondisi ini menyebabkan pelaksanaan proyek jauh dari harapan. Banyak desa terpaksa menjalankan kegiatan dengan anggaran minim, tanpa bisa memenuhi standar teknis dan kualitas sebagaimana mestinya. Bahkan, muncul kekhawatiran bahwa laporan pertanggungjawaban atau SPJ dibuat tidak sesuai kenyataan, demi menutupi kekurangan realisasi di lapangan.
“Kalau proyek seperti ini diaudit secara teknis dan dilihat dari spesifikasi yang sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI), saya yakin banyak temuan dan kejanggalan,” kata seorang ketua HIPPA.
Dalam konteks hukum, tindakan pemotongan dana dan dugaan rekayasa laporan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam:
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”
Ancaman hukuman: Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Selain itu, pemaksaan pelaksanaan proyek tanpa porsi pengawasan yang jelas juga bisa berpotensi melanggar Pasal 12 e UU Tipikor, tentang penyalahgunaan kekuasaan yang memaksa orang lain untuk memberikan sesuatu.
Dampak dari praktek ini sangat terasa di masyarakat. Infrastruktur irigasi yang dibangun tidak sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB), sehingga mutu beton dan daya tahan konstruksi dipertanyakan. Kondisi ini tentu sangat merugikan para petani dan warga desa yang berharap adanya peningkatan akses air irigasi untuk lahan pertanian mereka.
LP3-NKRI mendesak aparat penegak hukum—baik kepolisian, kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—untuk segera turun tangan menelusuri dugaan korupsi ini dan memproses hukum para pelakunya sesuai ketentuan yang berlaku.
“Kami berharap tidak ada pembiaran terhadap kasus ini. Jangan biarkan desa-desa yang ingin membangun justru menjadi korban dari kepentingan dan kerakusan segelintir pihak,” tutup pernyataan LP3-NKRI.(RED.TIM)
Posting Komentar