Kediri, radarjatim.net – Investigasi mendalam LP3-NKRI di Desa Klampisan, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri membuka tabir baru dugaan skandal penyimpangan dana negara dalam pelaksanaan Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3TGAI). Program yang seharusnya menyasar perbaikan sistem irigasi dan peningkatan kesejahteraan petani, justru disinyalir menjadi ladang bancakan oknum tak bertanggung jawab.
Program P3TGAI yang didanai dari APBN melalui Kementerian PUPR ini mengucurkan dana sebesar Rp 195 juta kepada Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A) di Desa Klampisan. Dana tersebut dicairkan dalam dua tahap langsung ke rekening kelompok. Namun, usai pelaksanaan proyek, muncul dugaan kuat adanya rekayasa dalam penyusunan Surat Pertanggungjawaban (SPJ).
Berdasarkan temuan LP3-NKRI, SPJ yang diserahkan ke Satuan Kerja (Satker) P3TGAI di bawah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) terindikasi penuh “anomali”—alias tidak sesuai fakta di lapangan. Bahkan, indikasi rekayasa ini diduga dilakukan secara sistematis oleh oknum Kepala Desa, TPM pendamping, dan Ketua GP3A.
“Silakan hukum dan proses kami jika memang ada kesalahan,” tegas Kepala Desa Klampisan, saat dikonfirmasi tim media dan LP3-NKRI. Statement ini memantik atensi, terlebih karena disampaikan dengan penuh keyakinan, namun tidak disertai transparansi data teknis proyek.
Lebih jauh, kades menyebut bahwa pelaksanaan program sudah sesuai prosedur dari BBWS. Namun pernyataan tersebut bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Ketua HIPPA pun terkesan tidak memahami regulasi pelaksanaan P3TGAI, bahkan mengulang-ulang istilah "aspirator" yang justru membingungkan dan tidak relevan dalam konteks teknis serta administratif proyek.
Permen PUPR No. 4 Tahun 2021 menyebut secara tegas bahwa pelaksanaan P3TGAI harus partisipatif, transparan, akuntabel, dan sesuai tahapan mekanisme. Jika tahapan ini dilanggar, termasuk dalam hal penyusunan SPJ fiktif atau manipulatif, maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi menyatakan:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, jabatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya sehingga dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, diancam pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.”
Jika benar terjadi rekayasa SPJ atau pelaksanaan proyek yang tidak sesuai ketentuan, maka ini adalah bentuk penyalahgunaan anggaran negara, dan bukan hanya melanggar administrasi, tetapi melanggar hukum secara pidana.
Masyarakat kini mendesak agar BBWS dan Aparat Penegak Hukum (APH) segera turun tangan melakukan audit menyeluruh, serta mengungkap dalang di balik dugaan praktik kotor ini. Jangan sampai dana negara yang seharusnya menjadi solusi bagi irigasi dan kesejahteraan petani justru dikorupsi demi kepentingan pribadi dan kelompok.
“Kalau memang ada pelanggaran hukum, silakan diproses. Kami siap,” pungkas kades, yang justru membuat publik makin bertanya-tanya: Apakah pernyataan itu wujud kejujuran, atau pembelaan dini atas skandal yang sebentar lagi akan terbongkar?
(RED.TIM)
Posting Komentar