Kediri, radarjatim.net – Sebagai negara maju dengan wilayah yang terbatas, Singapura menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan lingkungan di tengah pesatnya urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan lahan hijau yang terbatas dan kepadatan penduduk yang tinggi, Singapura sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim dan limbah domestik yang terus meningkat.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah Singapura mengadopsi berbagai kebijakan lingkungan yang progresif, salah satunya adalah inisiatif Zero Waste Nation. Program ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada tempat pembuangan akhir (TPA) dengan menerapkan metode pengelolaan sampah yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Saat ini, Singapura hanya memiliki satu tempat pembuangan akhir, yaitu TPA Semakau, yang diprediksi akan mencapai kapasitas penuh pada tahun 2035. Oleh karena itu, upaya untuk menekan volume sampah menjadi prioritas utama.
Beberapa kawasan seperti Marina Bay dan Punggol telah menerapkan sistem pengelolaan sampah modern, di mana limbah domestik tidak lagi dikumpulkan menggunakan truk sampah, melainkan langsung disedot melalui jaringan pipa bawah tanah menuju fasilitas pengolahan terpusat. Di fasilitas ini, sampah dipilah sebelum dikirim ke incinerator canggih yang dapat membakar limbah pada suhu 1.000 derajat Celcius selama 24 jam tanpa henti.
Proses ini mampu mengurangi volume sampah hingga 90%, sementara sisa abu hasil pembakaran digunakan untuk berbagai keperluan, seperti reklamasi lahan. Selain itu, panas yang dihasilkan dari proses ini dikonversi menjadi energi listrik yang disalurkan ke rumah-rumah penduduk. Untuk memastikan kelestarian lingkungan, asap hasil pembakaran difilter secara ketat sebelum dilepaskan ke atmosfer.
Tak hanya dalam pengelolaan sampah domestik, Singapura juga serius dalam menangani limbah elektronik (e-waste), yang menjadi salah satu penyumbang terbesar pencemaran lingkungan. Berdasarkan data National Environment Agency (NEA), setiap tahunnya Singapura menghasilkan sekitar 60.000 ton e-waste, namun hanya 20% yang berhasil didaur ulang. Limbah elektronik ini mencakup berbagai perangkat seperti komputer, telepon genggam, peralatan rumah tangga, serta komponen elektronik lain yang mengandung plastik dan logam berat berbahaya seperti merkuri, lithium, dan tembaga.
Untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan e-waste, pemerintah Singapura menerapkan Extended Producer Responsibility (EPR) System for E-Waste Management sejak Juli 2021. Program ini memungkinkan masyarakat membuang perangkat elektronik bekas mereka ke 300 unit tempat sampah khusus e-waste yang tersebar di berbagai lokasi strategis, bekerja sama dengan ALBA Group, perusahaan pengelolaan limbah ternama.
Sistem ini dirancang agar mudah diakses oleh masyarakat, dengan kategori pemilahan seperti peralatan elektronik kecil (printer, tablet, keyboard, dll.), baterai, dan lampu. Untuk mendorong partisipasi, pemerintah juga memberikan insentif berupa uang tunai melalui aplikasi ALBA Step Up, di mana pengguna dapat memindai kode QR pada tempat sampah setelah membuang e-waste mereka.
Limbah elektronik yang terkumpul kemudian disalurkan ke fasilitas pengolahan khusus di dalam negeri, seperti Cimelia, yang memilah, membongkar, serta mengklasifikasikan limbah berdasarkan komposisinya. Proses ini dilakukan secara hati-hati agar material yang masih memiliki nilai dapat diekstraksi dan digunakan kembali dalam berbagai industri, termasuk teknologi, otomotif, konstruksi, hingga manufaktur barang mewah.
Melalui penerapan sistem pengelolaan sampah yang inovatif dan berbasis teknologi canggih, Singapura berhasil menekan tingkat pencemaran lingkungan secara signifikan. Dari pengumpulan sampah hingga pemanfaatan energi dan konservasi lingkungan, negara ini membuktikan bahwa pengelolaan limbah yang efektif dapat berjalan selaras dengan pembangunan berkelanjutan. Model ini menjadi contoh bagi negara lain dalam menciptakan ekosistem yang lebih hijau dan ramah lingkungan.(Red.AL)
Posting Komentar